PENDAHULUAN
Latar Belakang
Imam empat serangkai adalah imam- imam madzhab fiqih dalam Islam. Mereka imam-imam bagi madzhab empat yang berkembang dalam Islam. Mereka terkenal samapai kepada seluruh umat dizaman yang silam dan sampai sekarang. Mereka itu adalah Abu Hanifah An- Nu’man, Malik bin Anas, Muhammad Idris As- Syafi’I, Ahmad bin Muhammad bin Hambal. Karena pengorbanan mereka yang besar terhadap agama Islam, khususnya dalam bidang ilmu fiqh mereka telah sampai keperingkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam Islam. Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fiqh yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum Muslimin umumnya.
Karena kesuburan dan kemashurannya dalam ilmu fiqh disamping usaha mereka yang bermacam- macam terhadap agama Islam nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman kejayaan Islam. Mereka bekerja keras untuk menjaga ajaran-ajaran Islam.
Namun pada makalah ini akan dibahas spesifik tentang biografi Muhammad Idris Syafi’I atau lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I merupakan imam ketiga menurut susunan tarikh kelahirannya.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana riwayat singkat Imam Syafi’i?
- Apa saja sumber- sumber hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i dalam mengambil hukum fiqh?
- Bagaimana pola pemikiran Imam Syafi’i ?
- Bagaimana karakteristik Imam Syafi’i?
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
- Untuk mengetahui riwayat singkat tentang Imam Syafi’i.
- Untuk mengetahui sumber- sumber hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’I dalam mengambil hukum fiqh.
- Untuk mengetahui pemikiran Imam Syafi’i.
- Untuk mengetahui karakteristik Imam Syafi’i.
BAB II
PEMBAHASAN
Biografi imam syafi’i
Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya. Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M. bersamaan dengan wafatnya Imam Hanafi. Ibunya berasal dari kabilah Azad, bukan Quraisy. Dalam catatan yang lain Imam syafi’i lahir dalam keadaan yatim. Kemudian ibunya membawanya ke Makkah agar nasabnya yang mulia tidak hilang.
Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthtalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, Abu Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’I al-Makki, keluarga dekat Rasulullah dan putra pamannya. Al-Muthtalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari Abdul Muththalib, kakek Rasulullah dan Imam Syafii berkumpul bertemu nasabnya dengan Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qusyay, kakek Rasulullah yang ketiga.
Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari negerinya, mereka hidup dalam perkampungan yang nyaman. Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama hadits yang banyak terdapat di Makkah. beliau terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.
Pendidikan Imam Syafi’i
Di kota Mekkah merupakan awal perkenalan Syafi’i dengan ilmu dan mulai belajar. Atas usaha dan dorongan ibunya. Syafi’i mulai belajar membaca dan menghafalkan Al-Qur’an. Dengan ketekunan dan kecerdasan imam syafi’i telah menghafalkan al-quran pada usia yang relatif muda ( usia 7 tahun).
Pada waktu beliau hidup di tengah-tengah masyarakat, mula-mula belajar dengan Muslim bin Khalid al-Zinji, Setelah belajar alqu’an, imam syafi’i belajar fiqh dan haditst kepada ulama-ulama kota makkah. Disamping itu imam syafi’i juga bahasa arab dan sastra, syair-syair arab serta sejarah. Untuk bidang yang disebut terakhir imam syafi’i pergi ke Badiyah dan belajar bahasa arab dari kabilah Huzail. Tidak kurang dari 10 tahun lamanya imam syafi’i mendalami bahasa arab dan sastra serta syair-syair di desa Badiyah.
kemudian beliau melanjutkan pengembarannya ke Madinah, di mana menemui Imam Malik untuk minta ijin agar diperkenankan meriwayatkan hadits-haditsnya. Sebelum Imam Malik mengijinkannya, Imam Syafi’i sempat ditest untuk membacakan kitab al-Muwatta’ dihadapannya, kemudian beliau membacanya di luar kepala.
Setelah belajar kepada Imam Malik, pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu dan mengambil pendapat-pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah, dengan cara bermunazarah dan berdebat dengan mereka, selama dua tahun beliau berada di Baghdad kemudia beliau ke Makkah, dilanjutkan ke Yaman, beliau berguru pada Matrak bin Mazin dan di Irak beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan. Diantara guru-guru beliau ada yang beraliran tradisional atau aliran hadits. Seperti Imam Malik dan ada pula yang mengikuti paham Mu’tazilah dan Syiah. Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dari berbagai aliran Fiqh tersebut membawanya ke dalam cakrawala berpikir yang luas, beliau mengetahui letak keturunan dan kelemahan, luas dan semptinya pandangan masing-masing madzhab tersebut, dengan bekal itulah beliau melangkah untuk mengajukan berbagai kritik dan kemudian mengambill jalan keluarnya sendiri.
Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya Imam Malik. Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga ia menulis buku Khilaf Malik yang sebagian besar berisi kritik terhadap pendapat (Fiqh) madzhab gurunya itu. Beliau juga terjun dalam perdebatan perdebatan sengit dengan Madzhab Hanafi dan banyak mengeluarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i terhadap kedua madzhab tersebut akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahli hadits dan fiqh ahli ra’yu yang benar-benar orisinil. Namun demikian yang paling menentukan orisinalitas Madzhab Syafi’i ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir.
Imam Syafi’i Wafat
Di akhir hayatnya, Imam Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu di mesir, sampai hal itu memberikan mudharat pada tubuhnya. Maka ia pun terkena penyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Tetapi karena kecintaannya terhadap ilmu, Imam Syafi’i tetap melakukan pekerjaannya itu dengan tidak memperdulikan penyakitnya. Imam Syafi’i dengan tenang menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah shalat Isya’, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204 H./819 M. dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi. Kuburannya berada di Kairo dekat masjid Yazaryang berada dilingkungan perumahan yang bernama imam syafi’i.
Sumber Hukum Madzab Syafi’i
Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainya Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya terdapat perbedaan pendapat.
Dalam pemahaman Imam Syafi’i atas Al-Qur’an, ia memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas. Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm dengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.
Sebagaimana para mujtahid lainnya, Imam Syafi’i meletakkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang utama, karena datang dari Allah yang sampai pada kita secara mutawatir. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak mungkin salah baik dari segi isi maupun pwenyamainya.
Untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar Imam Syafi’i telah merumuskan kaidah-kaidah ijtihad lafdzi yang telah beliau tuangkan dalam kitab Ushul Fiqhnya, yang berjudul Al-Risalah.
Al-Sunnah
Berbeda dengan pandangan kaum rasionalis ekstrim yang menolak sunnah sebagai sumber hukum, tetapi juga berbeda dengan konsep sunnah mazhab Malik yang terlalu longgar, Imam Syafi’i menawarkan konsep sunnah yang betul-betul otentik dari Nabi. Jika di dalam al-qur’an tidak ditemukan secara normatif teks yang relevan untuk menjawab persoalan tersebut, Imam Syafi’i menawarkan hadis sebagai sumber Hukum Islam tetapi posisi hadis tidak sebagaiman al-qur’an, ia hanya berfungsi sebagai penjelas apa yang terdapat secara samar dalam al-qur’an, memerinci yang global dan memutuskan yang tidak disinggung secara normatif aleh al-qur’an.
Berbeda dengan pandangan kaum rasionalis ekstrim yang menolak sunnah sebagai sumber hukum, tetapi juga berbeda dengan konsep sunnah mazhab Malik yang terlalu longgar, Imam Syafi’i menawarkan konsep sunnah yang betul-betul otentik dari nabi.
Imam Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut:
Perawinya terpercaya. Ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak dipercaya.
Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.
Perawinya dhabith ( kuat ingatannya).
Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.
Ijma’
Urutan ketiga sumber hukum yang dikemukakan Imam Syafi’i adalah ijma’ umat. Dia menolak konsep ijma’nya Imam Malik yang hanya terbatas pada kesepakatan Ulama. Menurutnya umat tak mungkin bersepakat dalam kesalahan. Menurut pahamnya ialah : “tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
Sebagaimana para mujtahid lain, Imam Syafi’i juga mengangkat hukum-hukum produk ijma’ sebagai ketentuan yang harus ditaati. Akan tetapi, Imam Syafi’i cenderung sangat idealis dalam hal ini, yaitu bahwa ijma’ tersebut harus merupakan kesekepakatan seluruh ulama yang berada di negri itu. Dan kalau ada satu orang saja dari mereka yang tidak terlibat dalam proses kesekepakatannya, maka ijma’ tersebut tidak sah. Oleh karena itu, menurutnya yang pasti terjadi adalah ijma’ sahabat tentang persoalan-persoalan yang telah dinyatakan dalam nash. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa dan ibadah haji, jumlah bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya.
Qiyas
Berbeda dengan kaum rasionalis yang menempatkan qiyas dalam urutan diatas ijma’ atau bahkan hadis ahad, juga berbeda dengan ahli hadis yang menolak penggunaan qiyas, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa qiyas dapat digunakan dalam kondisi tidak ditemukannya ijma’ atau nas. Konsep ini sesungguhnya dikemukakan untuk menolak penggunaan ro’yu yang tak terbatas yang menurutnya bersifat arbriter dan subyektif.
Demikian halnya dalam masalah saksi, dimana ketika di Irak Imam Syafi’i berpendapat bahwa satu orang laki-laki cukup saksi ditambah dengan sumpah. Tetapi ketika di Mesir pendapat ini kemudian dirubahnya dan kembali pada pendapat bahwa saksi harus dua laki-laki. Jika dilacak secara sosio historis, pendapat yang pertama diajukan lebih disebabkan oleh kondisi masyarakat kota, sedangkan ketika di Mesir kondisi serupa itu masyarakat Mesir yang kaya dengan peradabab dan cinta keadilan.
Muhammad Abu Zahra menjelaskan bahwa ulama yang pertam kali mengkaji qiyas (merumuskan kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imam Syafi’i. Dengan demikian Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat setelah al-qur’an, as-sunnah, dan ijma’dalam menetapkan hukum islam. Ia menempatkan qiyas setelah ijma’ karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Untuk persoalan-persoalan furu’ yang tidak terangkat secara eksplisit dalam Al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’, serta belum pernah difatwakan oleh para sahabat, seorang mujtahid menurut al-Syafi’i harus melakukan ijtihad lewat pendekatan qiyas, karena qiyas menurutnya lebih mendekatkan pada kebenaran dengan senantiasa membawa furu’ pada kebenaran nash.
Kemudian, untuk memperlebar pemakaian qiyas, al-Syafi’i membaginya menjadi tiga bagian, yaitu qiyas syabah, qiyas musawi dan qiyas aula.
Istishab
Kendati teori istishab ini lebih banyak dikembangkan oleh murid-muridnya dan para pengikutnya, namun menurut Muhammad Bultaji, al-Syafi’i sering menetapkan hukum dengan prinsip-prinsip istishab, yakni memberlakukan hukum ashal sebelum ada hukum baru yang mengubahnya.
Seperti dalam al-Um, Imam Syafi’i menyatakan bahwa kalau seseorang melakukan perjalanan dan ia membawa air, lalu ia menduga bahwa air itu telah tercampur najis, tapi tidak yakin akan terjadinya percampuran tersebut, maka menurunya air itu tetap suci, bisa dipakai untuk bersuci dan bisa juga untuk di minum. Contoh ini jelas bahwa Imam Syafi’i mempergunakan teori istishab, terutama dalam kajian fiqih iftiradhinya.
Pemikiran Imam Syafi’i dalam Pengambilan Hukum Fiqh
Pola penalaran Imam Syafi’i yang sangan kompleks dalam menyikapi dua aliran mazhab tersebut. Imam Syafi’i dipandang seorang anggota aliran Madinah dan berjasa dalam keberhasilan Ahli Hadist dan hukum islam dengan bukti emperis yang telah di berikan oleh Syafi’i yaitu kitab Ar-Risalah yang memuat tentang Al-Qur’an, Al-Hadist dan Usul Fiqh, walaupun pada dasarnya banyak yang membantah tentang eksistensi Usul fiqh di dalam kitab Ar-Risalah.
Imam Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan kedua Imam tersebut, maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam tersebut. Prinsip dasarnya produk-produk fiqh Imam Syafi’i masih berbau pemikiran Imam Maliki dan Hanafi, karena bertapapun pengaruh gurunya imam Malik ulama’ madinah yang Ahli ‘Ubudiah dan Imam Hanafi ulama hijaz (Sufi) tidak bisa hilang dari muridnya.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan ketetapan-ketetapan yang bebas, ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan. Berkenaan dengan hadist Nabi, Imam Syafi’i lebih teliti dalam memilahnya, dia hanya menggunakan hadist mutawatir dan ahad saja yang dijadikan sebagai sumber hukum ke dua setelah Al-Quran.
Contoh pemikiran Imam Syafi’I dalam pengambilan hukum fiqh, berikut beserta perbandingan dengan Imam Madzhab lainnya, adalah sebagai berikut:
Qashar shalat dalam perjalanan
Para imam telah sepakat bahwa orang musafir boleh mengqashar shalat yang 4 rakaat menjadi dua rakaat. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum qashar itu.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap musafir. Maka fardhunya hanya dua rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4 rakaat dan tidak cukup sesudah dua rakaat yang pertama, batallah shalatnya, karena ia meninggalkan fardhu wudhu yang akhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua rakaat yang pertama , sah lah fardhunya dua rakaat yang berakhir dihitung sunnat.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qashar sunat muakad yang kalau ditinggalkan dengan sengaja wajib i’adah dalam waktunya, dan kalau ditinggalkan karena lupa wajib sujud sahwi.
Ulama Hanabilah, berpendapat bahwa qashar itu lebih utama dan tidak makruh yang ‘Azimah.
Dan apabila sebab lebih utama menyempurnakannya menurut Ulama Syafi’i kalau perjalanan kurang 3 hari ialah keluar dari ikhtilaf para Ulama, maka ashal mazdhab adalah keutamaan rukhsah.
Tiga imam (Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hanbal) berpendapat bahwa qashar bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi). Maka si mukallaf dapat memilih tentang menggugurkan fardhu itu anatara azimah menyempurnakan 4 rakaat dan rukhsah qashar. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum rukhsah ini.
Tentang qashar itu bukan wajib ain , tiga imam mengambil dalil dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 101 yang berbunyi:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Artinya :
“Dan apabila kamu berjalan jauh di bumi, maka tidak mengapa kamu mengqasharkan shalat, jika kamu khawatir akan diganggu oleh orang-orang kafir”(Q.S:An-Nisa:101)
Jamak antara dua shalat
Tidak ada perbedaan pendapat antara para imam bahwa jamak antara para imam bahwa jamak antara zduhur dan ashar sebagai jamak taqdim dalam waktu zduhur di Arafah, dan diantaranya maghrib dan isya sebagai jamak takhir dalam waktu isya di Muzdalifah adalah sunnat bagi orang naik haji.
Menurut ulama Hanafiyah hanya disitu saja membolehkan dan dilarang jmak dalam satu waktu antara dua shalat selain dari dua tempat itu.
Menurut ulama Syafi’i membolehkan jamak antara dua zduhur (zduhur dan ashar) dan dua isya (maghrib dan isya) baik jamak taqdim maupun jamak takhir , bagi orang musafir yang mempunyai rukhsah qashar. Dan mereka membolehkan bagi orang muqim jamak taqdim saja menegnai shalat-shalat tersebut dengan sebab hujan yang dapat membasahi kain.
Menurut ulama Malikiyah membolehkan jamak dengan sebab safar walaupun dekat, dengan syarat safar itu mubah. Mereka juga membolehkan jamak taqdim anata zduhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya bagi orang-orang muqim apabila ia khawatirterjadi halangan yang mencegah melakukan shalat menurut yang semestinya, atau khawatir akan terjadi pitam yang mencegah shalat ketika masuk waktu yang kedua. Mereka juga membolehkan bagi orang muqim jamak taqdim dalam masjid antara dua isya saja dengan sebab hujan lebat dan lumpur yang banyak dalam keadaan gelap.
Menurut ulama Hanabiyah membolehkan jamak taqdim dan jamak takhir mengenai dua zduhur dan dua isya bagi musafir dalam keadaan boleh qashar, juga bagi orang sakit yang akan ditimpa kesukaran kalau ia tidak menjamak, juga bagi wanita yang menyusui, orang yang sedang uzdur (berhalangan), orang yang lemah untuk berwudhu untuk tiap kali shalat, dan yang tak sanggup mengenal waktu dan orang yang juga khawatir terhadap nayawanya dan hartanya atau kehormatannya juga orang yang khawatir ditimpa oleh kemelaratan pada penghidupannya kalau ia meninggalkan jamak. Mereka juga membolehkan jamak antara dua isya saja dengan sebab salju, lumpur, sangat dingin dan hujan yang membasahkan kain.
Kadar yang di fadhukan mengusap kepala
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang di fardhukan ialah seluruh kepala.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang di fardhukan ialah sebagian kepala saja, walaupun sehelai rambut. Dan ada pula yang berpendapat paling kurang tiga helai rambut.
Ulama Hanafiyah menurut suatu riwayat yang di pegang oleh Mutaakhirin , berpendapat bahwa yang di fardhukan ialah seperempat kepala. Menurut riwayat yang lain yang di pegang oleh al-mutaqaddimin yang difardhukan ialah sekedar tiga jari.
Adapun Ulama Hanabilah mempunyai dua riwayat, yang pertama inilah yang terkuat, yaitu sama dengan Ulama Malikiyah sedangkan yang kedua hanyalah sebesar ubun-ubun saja.
Dalil Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ ...(المائدة:6){
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu.....” (Q.S.Al-Maidah ayat 6)
Ulama Malikiyah mengambil dalil dengan firman Allah “Wamsahuu bi ru-uusikum” disini mengartikan ba’ pada ayat diatas itu adakalanya zaidah (lebih) atay untuk ilshaq (melekat) menurut kedua kemungkinan itu, maka susunan kalimat memberikan pengertian mengusap seluruh kepala.
Ulama Syafi’iyah mengambil dalil dengan ayat di atas juga. Penjelasannya ialah ba’ dengan arti ilshaq, yaitu makna yang hampir tidak pernah lain. Maka ayat itu adalah muthlaq dan yang diminta disitu ialah melekatkan usap dengan kepala dan ini dapat terjadi dengan mengusap sebagian sebagaimana dapat terjadi dengan mengusap seluruhnya.
Ulama Hanafiyah pun juga mengambil dari dalil diatas juga. Mengartikan “Wamsahuu bi ru-uusikum” dengan dijadikan ba’ itu zaidah adalah bukan asal , karena itu pastilah untuk ilshaq. Yang dimintakan ialah melekatkan tangan dengan kepala. Karena Firman Allah Wamsahuu membutuhkan maf’ul (objek), yaitu alat pengusap , yakni tangan. Maka ayat itu lengkapnya menurut pengertian imam Hanafi ialah “Wamsahuu aidiyakum mulshaqatan biru-usikum” yang artinya “usaplah tanganmu menyentuh kepalamu. Dan qaidah ba’ apabila masuk kepada yang diusap menghendaki mencakup alat sebagaimana apabila ia masuk kepada alat menghendaki mencakup yang diusap.
Karakterist mazhab imam syafi’i
Adanya gagasan qoul jadid dan qoul qodim.
Sebagaimana telah diketahui bahwa imam syafi’i memiliki dua qoul, yaitu qoul qodim dan qoul jadid. Pemetaan istilah tersebut dengan melihat dimana tempat beliau memutuskan hukum.
Qoul qodim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan dituls di irak. Pada tahun 195-199 H, Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahlu al-ra’yi. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Husain ibn Ali al-Karabisi, al-Za’farani, Sulaiman ibn Daud al-Hashimi dan Abu Tsaur.
Kitab-kitab yang ditulisnya pada saat periode qoul qodim diantaranya yaitu Al-Mabsuth (versi lama), Ar-Risalah al-Qodimah, dan al-Hujjah yang populer dengan sebutan al-kitab al-Qodimah.
Sedangkan qaul jadid adalah pendapat imam as-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir pada tahun 199-204 H. Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, ia bertemu dengan ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penurus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahli hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Alasan peralihan imam syafi’i terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang tergolong ahlu hadits. Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz. Dan diantara pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang diperbolehkan tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan tayamum dengan pasir.
Selain itu alasan adanya pembatasan dari keduanya dikarenakan hadis-hadis yang dijadikan dalil dala qoul qadim diriwayatkan oleh imam Bukhori, imam Muslim, dan Imam Abu Daud. sebagian besar hadis yang diriwayatkan kategori shohih. Sedangkan dari qoul jadid hadis-hadis yang digunakan rujukan diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidhi, Ibny Majah, dan al-Bayhaqi. Kebanyakan hadis yang terdapat yaitu hadis hasan.
Adanya Ijtihad imam Syafi’i
Dalam penetapan hukum imam syafi’i memformulasikan pemikiran hukum arl-ra’yu versi imam malik yang berlandaskan kenyataan sunnah,fatwa sahabat, dan ulama madinah dengan pemikiran hukum alr-ra’yu versi abu hanifah yang berlandaskan pemikiran bebas dan praktis dengan trobosan qiyas ihtihsan dan urf. Selain dalam penguasaan pemahaman secara teks dan konteks, kekayaan intelektual imam Syafi’i dipadu kan dengan kekayaan pengalaman beliau yang selalu mengadakan hijrah ke berbagai negeri yang menjadi menjadi pusat pengetahuan islam dan kehidupan masyarakat muslim. Dengan adanya pengalaman-pengalaman yang telah dikuasainya inilah yang menjadi landasan imam Syafi’i dalam berijtihad dalam beberapa masalah yang dihadapinya. Dan dengan ini pula yang mempengaruhi corak dari pemikiran mazhab imam Syafi’i.
Selain memadukan dari keduannya mazhab imam Malik dan Abu Hanifah, imam Syafi’i juga mengkritik dari kedua mazhab tersebut. Lalu menuliskan hasil studi kritis tersebut dalam kitab Khilaf Malik dan Khilaf al-Iraqiyah. Buku tersebut beliau tulis di Mekkah dengan kurun waktu yang cukup lama, namun bagi imam Syafi’i masih belum dirasa cukup. Lalu imam Syafi’i membawa buku tersebut untuk dikemukakan ke beberapa pihak dengan tujuan agar adanya revisi. Selain itu beliau juga kembali pergi ke Bagdad hanya untuk mendiskusikan dengan para sahabat Abu Hanifah mengenai hasil ijtihatnya.
Cara penerapan sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i
Dalam mengistimbath hukum syara’ ialah Al-Qur’an, sunnah mutawwatirah, ijma’, Qiyas, dan istihsan. Imam syafi’i pernah berkata tentang cara-cara beliau sendiri berijtihad, kata beliau, “Pokok pertama ialah alqu’an dan hadits. Kalau tidak ada, barulah dipergunakan qiyas (persamaan) dengan apa-apa yang terdapat dalam alqur’an dan hadits (sunnah). Bila hadits Rasulullah mempunyai sanad yang tidak putus-putus dan semuanya sah, maka ini adalah sunnah. Kabar dari orang banyak lebih tinggi nilainya dari kabar dari orang seorang. Hadits harus diartikan dengan dhahirnya. Apabila ada pengertian yang samar, maka pengertian yang dzahirlah yang didahulukan. Bila terdapat hadits-hadits yang bertentangan, maka hadits yang paling banyak sanadnya yang didahulukan. Yang ashal (pokok) tidak boleh diqiyaskan kepada furu’ (cabang). Dan yang ashal itu tidak dapat digugat dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana. Apabila telah shah qiyasnya dengan sesuatu yang asal, maka shah-lah hukum itu , dan boleh dijadikan hujjah (yang menguatkan).
BAB III
PENUTUP
Ringkasan
Imam syafi’I terlahir di Ghazzah ‘Asqalan (yg berada dipesisir laut putih ditengah-tengah bumi Palestina) pada Tahun 150 H di Bulan Rajab. Beliau adalah Muhammad Abu Abdullah, putra Idris, putra Abbas, putra Ustman, putra Abdu Yazid, putra Hasyim, putra Abdullah, putra Abdu Manaf. Nama Imam al-Syafi’i yang di nisbahkan pada kakeknya yang bernama Syaikh Al-Syaf’i’i. Beliau wafat pada malam Jum’at akhir dari bulan Rajab tahun 204 H.
Sumber- sumber pengambilan hukum yang dipakek oleh Imam Syafi’i ada 5 yaitu: Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’, Qiyas, Istishab.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan ketetapan-ketetapan yang bebas, ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan.
Ibnu An- Nadim menuturkan dalam Al-Fahrasat bahwa karya Imam Syafi’I menjadi dua bagian, yaitu Qadim dan Al- Hadits. Al-Qadim adalah kitab-kitab karyanya yang ditulis ketika Imam Syafi’I berasa di Baghdad dan Makkah. Sedangkan Al-Hadits adalah kitab-kitab karyanya yang ditulis ketika di Mesir. Adapun kitab-kitabnya diantaranya Kitab Al-Umm, Kitab As-Sunan Al-Ma’tsurah, Kitab Musnad.